1 | Fallen Snow



❝ After everything is over,
what's left?
Bad memories with absolute hatred,
or you? ❞

——————
Kicauan burung merpati menyapu kesunyian di ruangan tiga kali empat itu.
Perlahan kicauan burung itu tak lagi terdengar; hanyut bersama angin di pertengahan musim dingin ini.
Angin berembus kencang menerpa jendela apartemen Jeon Jungkook hingga terbuka dengan sempurna. Memperlihatkan butiran-butiran putih yang berjatuhan dari langit.
Jalanan kota Seoul dipenuhi butiran salju yang kian menebal. Jungkook melangkahkan kaki menuju jendela apartemennya. Kedua tangannya terulur ke luar jendela, menangkap butiran-butiran salju yang jatuh.
Tanpa sadar, hal ini mengingatkannya akan sesuatu. Musim dingin ini mendorongnya untuk menilik kembali masa lalu. Seolah sukses mengirim rangsangan ke memori otaknya, potongan-potongan kejadian itu terputar dalam kepalanya.
Hari itu. Tepatnya, pada tanggal 29 Januari 2016. Hari di mana seorang Jeon Jungkook yang dikenal pendiam, pemalu, dan sulit bergaul berubah menjadi pribadi yang lain. Bagaikan beralih genus dari toxoplasma menjadi salmonella, ia seratus delapan puluh derajat berbeda.
Tidak seperti biasanya, sejak saat itu, ia bukan lagi seorang yang pemalu, pendiam, ataupun sulit bergaul. Ia menjadi lebih berani. Termasuk dan terutama, ia mengalami peristiwa yang tidak biasa; berkeringat dingin. Dada bergemuruh. Tangan gemetar. Jangan lupakan kakinya. Sejak Tuhan memutuskan untuk mempertemukannya dengan Jiyeon pertama kali, itulah hal-hal yang terjadi pada dirinya.
Entah ini dapat dikatakan sebagai keajaiban atau tidak. Pasalnya, pria itu belum pernah sekali pun tertarik dengan yang namanya cinta. Secara rasional, hal itu tidaklah biasa. Namun luar biasanya, Jiyeon berhasil mencairkan es yang menyelimuti hati seorang pemuda bernama Jeon Jungkook.
Pertemuan pertama. Musim dingin. Meski tidak sedingin kata-kata Suga. Di kala itu, Jungkook berhasil menyukai seorang gadis. Untuk pertama kalinya. Han Jiyeon. Nama itu telah berdekam di benaknya selama dua tahun terakhir.
Tapi tidak ada yang tahu, hingga kapan nama itu akan menetap di sana.
Jungkook mengedarkan pandangannya, kemudian berhenti pada suatu titik; seorang gadis bersurai cokelat tua dengan kaus Gucci putih, dilapisi blazer hitam garis-garis, dan trousers yang semotif dengan blazer-nya sedang menunggu kedatangan bus di halte depan apartemennya.
Kedua ujung bibirnya tertarik mencetak lekukan senyum. Tanpa pikir panjang, pria itu bergegas menuju halte bus. Tak lupa, ia membawakan mantel tebal milik gadis itu. Kemarin, kekasihnya itu secara tak sengaja meninggalkan mantelnya di mobil Jungkook.
Lelaki itu memijakkan kaki memasuki lift apartemennya. Jemarinya menekan tombol untuk menuju lantai dasar.
Sedetik sebelum pintu lift tertutup rapat, tangan mungil seseorang menahannya sehingga pintu lift kembali terbuka. Menampakan seorang gadis bertubuh ramping dengan masker putih yang membenamkan sebagian besar permukaan wajahnya.
Jungkook menggeser tubuhnya ke samping kiri. Detik selanjutnya, pintu lift tertutup dan mulai menuruni lantai demi lantai apartemen itu.
Benar. Hanya ada mereka dalam lift itu. Berdua; Jeon Jungkook dan seorang gadis asing.
Jungkook melempar tatapan dingin pada gadis yang berada beberapa jengkal di sampingnya. Sempat sadar, tapi gadis itu memutuskan untuk bersikap acuh-tak acuh sembari berkutat dengan smartphone-nya.
Hening. Canggung. Hawa dingin ini mencengkram Jungkook. Traumanya akan kejadian hari itu menjadi satu-satunya alasan kekhawatiran Jungkook saat ini.
Hei, Jungkook-ie. Kau tampak sangat menawan malam ini.
Bibirmu sangat seksi, membuatku ingin mencicipinya lagi dan lagi.
Sungguh menjijikan bahkan untuk sekadar mengingatnya saja.
Lekuk tubuhmu begitu indah.
Oh, lihatlah! Otot perutmu begitu terlatih. Ugh! Darahku mendidih bahkan saat melihatnya.
Dadanya bergemuruh. Bulir-bulir keringat mulai bercucuran membasahi pelipisnya. Tubuhnya berkeringat amat banyak.
Ah! Kau benar-benar menggoda!
Nikmatilah malam ini bersamaku, Jeon Jungkook.
Kepalanya berdenyut tanpa henti. Wajahnya memanas hingga menimbulkan rona merah di bagian pipinya.
"Arghh!"
Teriakkannya berhasil mengundang perhatian sang gadis berkemeja maroon itu. Ia menurunkan kacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya seraya menyentuh pundak Jungkook.
Jungkook terperanjat, membuat gadis itu cepat-cepat menyingkirkan tangannya. Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka. Tanpa tunggu lama, lelaki itu mengambil langkah meninggalkan lift. Sebelum pintu lift kembali tertutup, Jungkook menjawab, "Y...ya, aku baik-baik saja."
Pintu lift kembali tertutup. Menyisakan Jiyoon yang termangu di dalam sana.
———
Cahaya matahari menyelundup masuk melalui celah tirai jendela apartemen Han Jiyeon.
Gadis itu terbangun tatkala mendengar suara nyaring yang berasal dari weker di samping kasurnya.
Ia membuka matanya perlahan. Ia mengerjap sekali, dua kali, tiga kali. "Tunggu,... tanggal berapa hari ini?"
Setelah kesadarannya terkumpul, Jiyeon beranjak dari kasurnya menuju meja putih yang terletak di sudut kanan kamar tidur. Tangannya meraih buku agenda coklat yang tersimpan di sudut sebelah kiri laci meja tersebut.
Ia membuka tiap helai halaman agenda itu, lalu berhenti pada halaman 69. "Astaga! Aigo! Oh my GoddessBagaimana bisa kau melupakannya, bodoh!" rutuk gadis itu seraya menepuk keningnya.
Lekas gadis itu berlari menuju kamar mandi. Namun, tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya. "Tunggu. Di mana kamar mandi?"
"Oh. Di sana. Astaga, bagaimana bisa aku lupa letak kamar mandi sendiri."
Setelah kurang lebih empat puluh menit bersiap diri, Jiyeon angkat kaki dari apartemennya.
Gadis kelahiran '98 itu mengenakan gaya fashion andalannya. Apalagi kalau bukan kaus Gucci putih, dilapisi blazer hitam garis-garis, dan trousers yang semotif dengan blazer-nya. Sebagai sentuhan terakhir, ia membungkus kakinya dengan sepatu kets putih keluaran Guess.
Karena mobilnya sedang diperbaiki, terpaksa ia harus menggunakan bus kota. Selagi menunggu, gadis bersurai cokelat tua itu memainkan smartphone-nya.
Belum lima menit sejak ia mendaratkan bokongnya di bangku halte, ponselnya berdering. Sebuah nama menyembul keluar bersamaan dengan bergantinya fitur layar. Dengan senyum sumringah, ia menyambut sang penelepon.
"Yeoboseyo? Dengan siapa saya berbicara?" sambutnya sesaat setelah menekan tombol hijau di layar ponselnya. (Halo?)
Sedangkan yang di balik telepon hanya dapat tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang tersusun rapi. [ Aigoo, Nona Han. Apa kau baru saja menggodaku? ]
Jiyeon tertawa kecil. "Eodiya?" (Kau di mana?)
[ Dalam perjalanan menuju apartemenmu. ]
"Baiklah. Kutunggu kau di halte bus depan apartemenku. Bye."
[ Ne, annyeong, Nona Han. ]
Selang sepuluh menit setelah sambungan terputus, sebuah mobil Lamborghini Murcielago berwarna merah berhenti tak jauh dari halte bus yang ditempati Jiyeon.
Sang pengendara turun dari mobil, lantas berlari kecil ke arah Jiyeon. Ia merengkuh gadis itu ke dalam dekapannya.
"Saeng-il chughahae, Tuan Park!" tutur Jiyeon, kemudian mengecup ringan bibir tebal milik pria di hadapannya. (Happy birthday.)
Pria itu mencubit pelan pipi Jiyeon dengan kedua tangannya, lantas menggoyang-goyangkannya dengan gemas. "Aigoo. Gomawo, Nona Han." (Thanks.)
Sementara itu, seorang pria mengamati mereka dari kejauhan.
Yeah, itu Jeon Jungkook.
Mantel tebal dalam genggamannya terjatuh ke tanah. Ia termenung melihat pemandangan yang terpintas di hadapannya. Rahangnya seolah akan jatuh ke tanah menyadari betapa mengejutkannya hal itu.
Menyakitkan. Sungguh. Ia tak menyangka gadis itu tega mengkhianatinya. Dua tahun terakhir terbuang sia-sia baginya. Ingin rasanya ia memutar kembali waktu. Bahkan untuk saat ini ia berharap memiliki mesin waktu atau semacamnya.
Konyol sekali.
Apakah dunia ini terbalik?
Mengapa selalu seperti ini?
Mengapa nasib buruk selalu menimpanya?
Mengapa takdir tak pernah berpihak padanya?
Mengapa hidupnya begitu menyedihkan?
Mengapa dunia ini begitu adil?
Seakan dikhianati oleh pacarnya saja tak cukup, ia mendapat fakta lain yang berhasil menikam hatinya.
Lelaki yang sedang bersama Jiyeon saat ini,...
... adalah Park Jimin.
| 우리의추억 |



Comments

Popular posts from this blog

3 | Suspicious

5 | Start

4 | Insistense