2 | Ridiculous

❝ The word 'break up'
isn't where
everything has ended,
but where
everything starts. ❞
isn't where
everything has ended,
but where
everything starts. ❞
——————
Lembayung senja menghiasi langit kota Seoul.
Lambat laun cahaya jingga keunguan itu menghilang; tergantikan dengan gelap yang menutupi langit.
Gemerlap cahaya serta alunan musik menjadi kombinasi sempurna bagi seorang Jeon Jungkook saat ini.
Ia mengunjungi sungai Han guna mengangkat beban yang telah bertumpuk setinggi RM BTS. Sebelum itu, ia membeli satu cup Americano dingin untuk menghilangkan kantuknya.
Earphone yang melekat pada telinganya mengalunkan musik dari soloist favoritnya. Lagu itu sangat mendominasi apa yang dirasakan Jungkook saat ini.
♬ IU—Through the Night.
♫ Tonight, I'll send the glow of a firefly
to somewhere near your window
It's that I love you ♫
to somewhere near your window
It's that I love you ♫
♫ I remember our first kiss
I close my eyes whenever I can
and go to the farthest place ♫
I close my eyes whenever I can
and go to the farthest place ♫
Seiringan dengan angin yang melintasi permukaan wajahnya, ia bermonolog, "lagu ini,... apa kau mengingatnya?"
Pemuda itu menghela. "Ini ... adalah lagu yang kunyanyikan pada malam kencan pertama kita."
"Kau ingat? Kala itu ... ah! Geumanhae, Jeon Jungkook! Apa yang sedang kau lakukan? Kau harus berhenti, jika tidak ingin terperosok ke lubang penderitaan—Rumah Sakit Ji...," mendadak ia membatu dengan mata memicing, "bukankah aku tampak lebih tidak waras, jika mengatakan itu?"
Tidak ingin hal tersebut benar terjadi, pria itu kembali fokus pada bait lagu yang menyusup ke indera pendengarannya.
♫ Just like letters on the sand
where waves were
I feel you'll disappear
To a far off place
I always miss you miss you ♫
where waves were
I feel you'll disappear
To a far off place
I always miss you miss you ♫
♫ All the words
In my heart
I can't show them...,
In my heart
I can't show them...,
Pria itu—Jungkook turut bersenandung menikmati alunan musik di telinganya.
Beberapa detik setelahnya, layaknya malaikat hidup—karena malaikat maut terlalu mainstream—yang mencabut nyawa bango, ada yang mencabut earphone-nya. "Aigo,... Jeon Jungkook, yang benar saja. Kau serius?"
Jungkook menoleh dan mendapati Taehyung tengah berdiri di belakangnya. "Mwoga?" (Apanya?)
"Mengapa kau tidak memberitahuku, kalau label 'telah memiliki pacar'mu lenyap?"
———
Pluto The Hill.
Bunyi decitan alas sepatu yang beradu dengan tanah sukses mengundang sorot mata para penghuni apartemen Kim Taehyung.
Tidak, apartemen itu bukan miliknya. Ia hanya penghuni, tentu saja.
Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit untuk menginjakkan kaki di apartemennya. Jarak dari sungai Han ke apartemen Taehyung tidaklah jauh, jika dibandingkan dengan jarak seorang Jeon Jungkook dengan wanita.
Jungkook sangat anti bersentuhan fisik dengan wanita. Dapat dikatakan, sejenis phobia? Tidak, tidak. Lebih tepatnya, semacam trauma. Kejadian traumatis yang dialaminya beberapa tahun silam, tentu berefek buruk bagi kesehatan mentalnya. Ketahuilah, selama dua tahun terakhir Jungkook berkencan dengan Jiyeon, ia tidak pernah menyentuh wanita itu secuil pun.
Ralat, hanya sekali. Jiyeon sempat tidak sengaja menyentuh pundaknya. Itu wajar, sangat. Ketika kita memanggil seseorang dan ia tidak merespons; refleks kita akan menyentuh pundak atau sejenisnya, 'kan?
Ia menyukai gadis itu. Namun, itu tidak menutup kemungkinan bagi Jungkook untuk tidak melakukan kontak fisik dengannya, bukan?
Hubungan mereka sederhana; bertukar pesan, call, sesekali melakukan video call, bertemu, kencan, dan terus seperti itu. Hanya itu, tidak lebih. Tidak ada yang istimewa dalam hubungan mereka.
Jangan tanya kapan ciuman pertama mereka. Kendati ciuman, pelukkan sekalipun Jiyeon belum merasakannya. Bahkan gadis itu tidak tahu bagaimana lekuk apartemen Jungkook.
Benar. Lelaki itu tidak mengizinkannya 'tuk singgah.
Simple saja. Jungkook belum sepenuhnya percaya dengan gadis itu. Sistem otaknya tidak dapat menghapus kenangan akan hari itu dengan begitu suangnya.
Hidup ini tidak semudah mengedipkan mata. Hidup ini sulit. Namun, tidak sesulit Jungkook menggapai tangan IU.
Alright, mabok dan sedeng. Eh, salah. Alright, cukup lelucon kolotnya.
Lelaki asal Busan itu menjejakkan kaki memasuki lift. Telunjuknya menekan tombol bertuliskan angka 20. Sama dengan Jungkook yang berusia 20 tahun. Ya, Taehyung tinggal di lantai 20, kamar 2020.
Nomor lantai, nomor kamar, dan usia Jungkook mungkin terikat melalui telepati.
Jangan tanya ke mana perginya Mr. Kim. Ia tengah berinvestasi di kamar mandi. Bukan. Bukan kamar mandi apartemennya, tetapi kamar mandi yang terdapat di lantai lobby.
Why? Alasannya, karena ia tidak betah, bila tidak mengotori kamar mandi tersebut.
Konyol, bukan? Ini bahkan tidak lebih lucu dari headline: "Badak Mada Melahap Gajah Bercula Satu."
Tch. Memang, makhluk hidup satu ini tidak dapat ditebak isi otaknya.
Ting!
Bola mata cokelat pemuda bermarga Jeon itu tergeser ke atas—menatap angka 20—yang berarti ia telah tiba. Hendak Jungkook meninggalkan lift. Namun, lagi-lagi hal bodoh terjadi.
Sungguh. Konyol. Bahkan Jungkook tak kuasa menahan tawanya. "Ya, jinjja ... APA-APAAN INI. AISH, INI TIDAK LUCU!"
Sempurna sudah kesialan Jungkook hari ini. Kakinya tersangkut di ceruk pintu lift karena menyeretnya kala hendak meninggalkan lift.
Menyerah. Akhirnya, Jungkook menghubungi Taehyung yang hampir menyelesaikan investasinya; meminta bantuan.
———
"Pfft—Hahaha! Hei, Jeon Pabo, kau sebodoh itu?"
Sang pemilik nama Kim Taehyung itu menerjunkan bokongnya di sofa abu-abu yang terdampar di ruang tengah.
"Aigo, kau sungguh. Bagaimana bisa kakimu tersangkut di lubang pintu lift? Kalau-kalau kakimu tak dapat lepas dari sana, bagaimana?" tuturnya seraya menjejalkan beberapa kudapan ke dalam mulutnya.
"Tentu saja, bisa. Takdir selalu memihakku."
Lelaki berusia menyentuh kepala dua itu menghidupkan televisi; menanti acara variety show favoritnya yang akan tayang dalam kurun waktu lima menit ke depan. "Takdir? Memihakmu? Hah, jangan konyol. Tidak ada yang namanya takdir di dunia ini. Jangan percaya takdir. Bila takdir itu membawamu pada sesuatu yang akan kau sesali seumur hidup, kau akan kecewa."
Jungkook termenung di sudut kanan ruangan, menatap kakinya yang sebelah telanjang. Ia tidak peduli pada apa yang baru saja Taehyung ocehkan. Pasalnya, sepatu Timberland kesayangannya terpaksa harus ia relakan karena insiden tadi.
"Taehyung-ah, aku akan bermalam disini," ucapnya tiba-tiba.
Lawan bicaranya itu menganggukkan kepala. "Baiklah. Mari keluar 'tuk makan samgyeopsal dan minum kopi."
Refleks, Jungkook meloncat kegirangan. Maniknya berbinar-binar memancarkan cahaya ilahi. "Oh, ya.... Kau yang terbaik, Mr. Kim. Gaja!" (Hei // Let's go)
———
Tiga puluh menit telah berlalu.
Waktu terasa begitu cepat kala kau bersama seseorang yang mampu membuatmu nyaman. Ya, begitulah Taehyung bagi Jungkook; ia satu-satunya orang yang dapat membuat Taehyung tertawa lepas, melupakan masalah, bahkan dapat merubah suasana hatinya yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan sebelumnya.
Malam ini keduanya ditemani dengan satu cup kopi yang masing-masing variannya berlainan. Taehyung memilih Caffè Vanilla Frappuccino with java chip, sedangkan Jungkook dengan mantan favoritnya. Mengapa ia memesan kopi yang berstatus mantan? Jelas saja, mantan itu manis di ingatan, kalau kata Nathan. Ups. Pria dengan sederet gigi kelinci itu memasukkan sedikit tambahan gula ke dalam Maple Pecan Latte-nya. Ia menyukai gula melebihi apapun. Bahkan Lee Ji Eun pun terbantai habis.
Belum puas, keduanya melanjutkan aksi jalan kaki mereka menuju rumah makan di dekat kedai kopi tersebut.
Rumah makan itu terkenal dengan samgyeopsal-nya yang sukses menggusur mundur samgyeopsal buatan Seokjin.
Perjalanan mereka tak berhenti sampai di situ. Sebagai pelengkap dan yang terakhir, mereka mengunjungi sekolah menengah tempat mereka menimba ilmu dahulu.
Kedua telapak tangan Taehyung terangkat memangku pipinya. Kini ia baru menyadari bahwa pipinya begitu mulus bagaikan jalan menuju Surga.
Melainkan bahagia, Jungkook justru merasa terpukul. Mengingat masa-masa ia mengenakan seragam putih abu-abu. Dahulu, ia tidak menderita layaknya hari ini. Dahulu, hidupnya lurus-lurus saja tanpa tekanan. Dahulu, tidak ada kenangan buruk yang terus menghantuinya.
Dahulu, ia bahagia.
Namun, itu hanyalah masa lalu.
Ia tidak bisa hidup dengan terus menatap ke belakang—ada jutaan hal baru menunggunya di depan.
Well, hidup tak selalu seperti yang kita inginkan. Hal buruk dapat terjadi tanpa kita duga-duga. Seperti buang angin, misalnya.
Never mind.
Lelaki dengan potongan rambut mangkuk itu menarik langkah menuju taman bermain belakang sekolahnya, diikuti Taehyung dengan wajah murung.
Pria itu memang pantas disebut kembaran alien. Beberapa menit yang lalu ia menunjukan raut wajah bahagia, lalu ia mendadak murung.
Look! Bahkan ia baru saja mengubah ekspresinya menjadi menjijikan bak pantat penggorengan yang gosong dengan memaju-majukan bibirnya.
Jungkook yang menyadari hal itu kontan melayangkan telapak tangannya, lantas mendarat di ujung bibir manusia separuh alien itu. "Ya! Berhenti bertingkah sok imut, menjijikan. Kau memang pantas dijuluki kembaran alien. Ah, tidak. Kurasa alien bahkan lebih baik darimu."
"Really? Bukankah itu fakta? Itulah yang dikatakan oleh penggemarku," ujar sang korban.
"Oppa gwiyeowo. Oh my God, rasanya kuingin mati. Apakah ia pantas disebut manusia? Bagaimana bisa ada manusia seimut itu?" lanjutnya memperagakan.
"Really, really, really, really, nae mam-eul mid-eojwo OH WAH."
Taehyung memutar bola matanya bosan. "Jangan bernyanyi di sini, Mas. Ini bukan lampu merah, tolong."
"Shut the fuck up, Kim Taehyung. Asal kau tahu, yang diucapkan penggemarmu itu bohong. You know what? Mereka mengatakan hal yang sama padaku."
Hendak Taehyung menukas pernyataan yang baru saja Jungkook ungkapkan. Namun, sesuatu berhasil mengalihkan perhatian Taehyung. "Jung, apa kau mengundang seseorang 'tuk datang?"
"Tidak. Oh, ayolah. Lagipula ini sudah menembus jam satu pagi, siapa juga yang akan datang meski aku menyuruhnya? Hanya orang bodoh yang mungkin akan datang."
Air wajah Taehyung seketika berubah menjadi tegang. Ia mendekatkan wajah ke telinga pria di samping kirinya; mengucapkan sesuatu dalam bentuk lirihan.
"Bersiaplah, orang bodoh itu datang."
| 우리의추억 |
Comments
Post a Comment