4 | Insistense

❝ Kenangan buruk akan 
perlahan memudar ketika ada obat 
yang dapat menghapusnya.
Namun, kenangan indah akan 
tercetak di ingatan sebagai 
sejarahㅡbahkan saat ada kenangan indah lainnya 
yang hadir dalam hidup. ❞
——————
"Mwo?! Apa kau bilang?"
Lee Sejin mempercepat tempo langkahnya agar dapat mengimbangi langkah pemuda yang terhitung satu meter di depannya.
"Tolak saja, aku sibuk. Aku tidak ada waktu untuk itu," ujar pemuda dengan kaus Supreme putih itu.
Berhasil menyetarakan langkahnya, Sejin mencegat pemuda itu tepat satu langkah di hadapannya. Refleks, pemuda itu mundur satu langkah ke belakang. "Tidak bisa. Setidaknya, pilihlah satu; drama, 2 days 1 night, atau Running man?"
Pemuda itu mendesis. "Tidak ketiganya."
"Kalau begitu,... We Got Married?"
Pria itu berupaya melarikan diri melalui celah yang dibuat manajernya-di antara kedua kaki jenjang Sejin. "Tidak."
"Tapi...,"
"Just reject it, Mr. Lee. Sesulit itukah? Katakan bahwa seminggu ke depan aku disibukkan oleh jadwal pemotretan LG dan LV, pembuatan mixtape-ku, dan persiapan untuk comeback kami," tukas pemuda itu.
"Lagipula, itu tidak sepenuhnya bohong."
Memang, itu bukan kebohongan secara keseluruhan. Namun, ia bohong mengenai pembuatan mixtape-nya. Mixtape-nya telah dibuat sejak tiga bulan yang lalu dan waktu pembuatannya sudah berakhir sejak lima hari yang lalu. Perilisannya akan dilaksanakan dua minggu ke depan.
Pemotretan? Itu benar adanya. Hanya saja, comeback mereka bukan minggu depan, melainkan lima hari ke depan terhitung hari ini.
Lee Sejin, manajernya itu mulai geram. Habis sudah kesabarannya. "Jeon Jungkook!"
Kendati peduli, Jungkook justru beranjak pergi dari tempatnya berada. Ia menuju ruang ganti untuk mengganti pakaiannya yang telah basah kuyup oleh keringat.
Jungkook membuang asal tas training hitamnya ke lantai. Ia melepas kausnya kasar. Tubuhnya berpaling ke arah kaca besar yang ada di sebelah timur. Ia menatap bayangan tubuhnya yang terpantul dengan sempurna. Sekarang ia baru menyadari betapa indah lekuk tubuhnya.
Terutama pada bagian perut. Otot perutnya begitu terlatih hingga membentuk eight pack. Tak lupa, lengan kekarnya yang akan membuat gadis mana pun yang melihatnya berteriak histeris; jika perempuan itu normal, terkecuali kalau ia kehilangan kenormalannya sebagai wanita-lesbian.
Ia berjalan mendekat ke kaca besar itu; berbalik, lalu memerosotkan tubuhnya. Jungkook menyilangkan kedua kaki jenjangnya. Tanpa seizinnya, insiden kemarin terbersit dalam kepalanya.
'Akh!!'
Prang!
'Hei, siapa itu!'
'Ya! Jangan kabur!'
Bugh!
Kedua telapak tangannya menangkup wajah tampannya. Matanya terpejam. Seketika, helaan napas terlontar keluar dari mulutnya. Sungguh, ia lelah. Ia cukup lelah dengan pekerjaannya. Kini, ditambah masalah baru yang mengusik hidupnya. Pikirannya terganggu.
Tangan Jungkook beralih memegangi bagian punggungnya. Di sana ada luka. Kemudian, tangannya berpindah memegangi bagian hatinya. Namun, di situ ada lebih banyak luka; luka yang berbekas dan akan terus ada.
Jungkook bangkit dan membalut tubuhnya dengan kemeja Gucci tipis yang diberikan Taehyung saat ulang tahun ke-19-nya.
Selagi berjalan, lelaki bermarga Jeon itu merogoh saku celana training-nya. Ia mengeluarkan ponsel, lantas menelepon Suga. "Yeoboseyo, Suga Hyung?"
Wae? ]
"Kau sedang di dorm?"
[ Hm. ]
"Tolong bawakan sepatu Timberland cokelatku untuk latihan sore nanti?"
Suga terdiam sebentar, lantas menjawab, [ Tidak. ]
"Jebal, Hyung," pinta Jungkook dengan wajah memelas. Meski Suga tidak dapat melihatnya. Jika ia melihatnya, sudah dapat dipastikan pria itu akan melempar apa saja yang ada di dekatnya tepat ke wajah Jungkook.
Sang pemilik nama asli Min Yoongi itu menjentikkan jarinya. [ Oh, hampir saja aku lupa. Ya, maknae lucknut! Kau mencuri celana dalamku, LAGI?! ]
Merasa nyawanya terancam, Jungkook segera memutuskan panggilan. Peduli setan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, yang terpenting sekarang ia harus menyelamatkan diri terlebih dahulu.
Lelaki berperawakan jangkung itu tiba di ambang pintu yang bertuliskan practice room. Tanpa tunggu lama, ia melangkah masuk dan segera disambut dengan lima member Bangtan lainnya.
"Hei, Jungkook-ie. Ada apa? Tidak biasanya kau terlambat," tanya Hoseok sebagai sambutan pertama.
Jungkook bergabung dengan member lain yang sedang duduk melingkar di tengah ruangan. "Ah, tadi ada sedikit masalah."
Sekilas, pria itu menilik member yang duduk berseberangan dengannya, Park Jimin.
"Baiklah. Bisa kita mulai?"
———
Hening.
Terdapat empat orang dalam ruangan bernuansa mint itu. Mereka duduk melingkar di tengah ruangan. Kepala mereka tertunduk dalam, tampak tengah merenung.
Wajah mereka gelap bagaikan malam yang merindukan rembulan. Sepertinya, matahari saja tak cukup untuk mencerahkan hidup mereka. Mereka butuh pencerahan. Layaknya Lucinta Luna yang butuh pencerahan.
"Uhm. Begini. Kita memang kalah, tapi itu bukan berarti kita lebih buruk dari mereka. Kita hanya kurang persiapan. Kalau kita memiliki persiapan yang cukup, kita pasti menang. Jangan menyerah. Bangkitkan semangat kalian," ucap salah satu dari mereka membuka percakapan.
Member lain menanggapi, "Haera-ya, ini telah menginjak ke-7 kalinya kami kalah dalam ajang musik. Juga, perbedaan skor kami sangatlah jauh. Apa katamu? Kita tidak lebih buruk dari mereka? Cih. Omong kosong."
Mendengarnya, Haera kembali tertunduk. Setetes cairan bening terjun jatuh dari mata hitamnya. Sontak semuanya ternganga dengan apa yang baru mereka lihat. Haera menangis? Itu hal mustahil kedua setelah Jungkook berhenti mencuri celana dalam Suga.
"Song Hyesun!" pekik ketiganya serempak.
Hyesun menggigit bibir bawahnya. "Astaga! Apa aku terlalu kasar? Mianhae, Haera-ya," sesalnya.
"Tidak, bukan itu. Aku hanya merasa buruk atas ini. Kekalahan kita adalah akibat dari aku yang terlibat skandal dengan Jaehyun. Maaf, aku sungguh menyesal."
Cklek.
"Hei. Maaf, aku terlambat. Lagi. Tadi ada sedikit masalah," sahut seseorang bertubuh ramping dengan senyuman cerah di ambang pintu.
Namun, seketika senyumnya memudar. Raut wajahnya berganti murung. "Joo Haera, wae geurae? Ada apa dengan wajahmu itu? Kau menangis?" tanyanya dalam sekali tembakan layaknya knalpot bajaj. ( Ada apa? )
"Ah, tidak, Jiyoon-ah. Bagaimana kalau kita mulai?"
Jiyoon menganggukkan kepala mengerti. Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas training maroon miliknya.
Sementara Jiyoon menyalakan musik, yang lain bersiap pada posisinya. Jiyoon memiliki kebiasaan yang unik, yaitu menyuarakan fanchant mereka di awal lagu; intro.
Klik.
"Han Jiyoon!"
"Yoon Chaeri!"
"Song Hyesun!"
"Chae Hyunjin!"
"Joo Haera!"
"Youth to Light!"
"YTL!"
My body and head are spinning
How are you feeling now?
We are like a magnet
We hug and push aside
Mereka mulai menggerakkan tubuh mereka mengikuti irama musik.
You make me crazy
And out of my senses
Yes, you may know that
You make me out of my mind
Masing-masing dari mereka berpencar membentuk formasi huruf 'v'.
You make me dance
And drunk without alchole
Yes, you may know that
You make me a naughty girl
Jiyoon berlari ke bagian belakang, kemudian diangkat oleh member lain untuk melakukan salto ke depan.
In a movie only for us
The real hero was you, baby
As always the way you do
Like a splendid hero
Do whatever you want
Even if you're mean
And you make me sad
You need to be yourself
Even if i'm not feeling well
And it's sad ending
The show must go on
The show must go on
You always fight to the bitter end
And try to cover everything
Why did you gave me wings and
Want me to fall
You say to me "good girl"
And make me take my tears back
Yes, you may know that
You snow me
Namun, tiba-tiba di pertengahan musik seseorang mengetuk pintu.
Tok. Tok. Tok.
Dengan segera, Chaeri yang berada di barisan terdepan mematikan musik yang bersumber dari ponsel bersampul maroon milik Jiyoon.
In a drama only for us
The real hero was you, baby
As always the way you do-
Tut.
"Ne?" teriak salah satu member dengan kaus Adidas berwarna pale pink.
Chaeri berjalan ke arah pintu dan membukanya. "Oh? Manajer Eun?"
Eun Nayoung menghampiri Jiyoon yang tengah menenggak sebotol air mineral. "Jiyoon-ah. Bisa bicara sebentar?"
Jiyoon menaruh botol minumnya di lantai. Ia mengangguk, lalu berjalan membuntuti manajernya.
Selang lima menit, keduanya tiba di kafetaria agensi. "Ada apa?" tanya gadis itu to the point.
"Jiyoon-ah, aku tahu kalian lelah terus-menerus bekerja. Kalian menghabiskan waktu berharga kalian demi menghasilkan uang untu...,"
"Intinya?" potongnya. Jiyoon memang tipe orang yang tidak suka basa basi atau mendengar lawan bicaranya berbasa basi. Entah mengapa manajer yang telah bertahun-tahun mengasuhnya masih tidak paham sifat dan karakter gadis itu.
Nayoung berdeham. "Kalian akan mengikuti tour antar agensi. Minggu depan. Bukankah itu menyenangkan?"
Jiyoon termangu. Hah. Menyenangkan, katanya? Ia harus mengikuti tour yang tidak jelas tujuannya di waktu yang bertabrakan dengan tanggal promosi lagu mereka?
Gila.
"Tidak bisa. Minggu depan adalah tanggal promosi lagu kami, Manajer Eun," tolaknya enggan.
Namun, sebuah fakta menakjubkan meluncur keluar dari bibir manajernya. "Promosi lagu kalian...," ia sempat ragu, tetapi tetap melanjutkan, "...dibatalkan."
Singkat, padat, menyakitkan. Jiyoon membeku di tempat. Otaknya sulit mencerna apa yang baru saja dikatakan wanita itu. Dibatalkan?
What the heck is this?
Apa ia benar-benar seorang manajer? Bagaimana bisa ia membatalkan promosi lagu mereka hanya untuk sebuah tour yang tidak jelas apa benefitnya?
Ia tidak menyangka ini. Tidak disangka, ternyata ia sebodoh ini. Ia percaya, suatu saat nama grup mereka akan melambung tinggi. Lagu mereka akan menembus chart Billboard Hot 100. Grupnya akan mencetak rekor baru dalam industri musik di Korea.
Lelucon. Semua itu hanya lelucon. Pupus sudah harapannya. Detik ini, ia benar-benar menyerah akan segalanya. Ia telah menyerah akan impian konyolnya yang tak'kan pernah terwujud hingga kulit landak dapat semulus Suga.
Alih-alih merespons, Jiyoon angkat kaki dari tempatnya. Ia tidak berencana kembali ke ruang latihan dan memberi tahu teman-temannya mengenai hal ini.
Ia berencana bungkam dan memendamnya seorang diri.
———
02.39
Terdengar dentum musik yang menggema di ruang kedap suara itu. Ini sudah menjelang pagi, tapi ketujuh manusia itu belum juga mengakhiri masa latihan mereka.
Tidak bisa. Tentu saja. Berjarak tiga hari sebelum comeback mereka, karena itu mereka mati-matian berlatih hingga lupa waktu.
Mereka ingin mempersembahkan yang terbaik untuk para penggemar. Mereka ingin membuat penggemar terkesan dan menjadikannya memori yang akan disimpan hingga tua nanti. Menjadi kenangan yang berjejak dan tak terlupakan dalam hidupnya.
Tentunya, mereka ingin menjadi kenangan indah, bukan kenangan buruk.
Kenangan buruk akan perlahan memudar ketika ada obat yang dapat menghapusnya. Namun, kenangan indah akan tercap di ingatan sebagai sejarah-bahkan saat ada kenangan indah lainnya yang hadir dalam hidup.
Musik berganti secara otomatis. Dengan sigap, mereka merubah formasinya. Latihan berjalan lancar dan diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari ketujuh member.
Jungkook menyambar tas training-nya yang bersandar di dinding sebelah barat ruangan. Ia ber-high five dengan member lain secara berangsur-angsur sebelum meninggalkan tempat itu.
Hingga tiba pada member terakhir, Park Jimin. Tanpa pikir panjang, ia melewati pria itu dan meninggalkannya.
Dari kejauhan, Jimin menatap punggung sahabatnya yang perlahan menghilang. Pandangannya jatuh pada sepatu yang ia kenakan. Tatapannya kosong. Merasa bersalah? Jelas.
Sesudah kejadian hari itu, Jungkook tidak pernah berbicara dengannya. Kenyataan pahit membuat mulutnya terkatup rapat bagai terkunci oleh Gunung Lima Elemen.
Ia benci hal seperti ini. Permusuhan karena seorang gadis. Mereka pernah berjanji untuk tidak bertengkar karena wanita, tapi apa?
Enam tahun kebersamaan mereka membuat Jimin tidak terbiasa dengan situasi ini. Ia kesepian. Member lain tahu. Meski ingin, mereka tak'kan membantu. Jimin dan Jungkook bukan lagi anak kecil yang harus dibantu kala menyelesaikan perkara.
Keduanya telah dewasa. Sudah seharusnya mereka menyelesaikan persoalan secara individu.
Sebagai penghuni terakhir, Jimin turut meninggalkan ruang latihan.
Setibanya di pertigaan menuju lift, Jimin mendengar suara tangisan seseorang. Hal itu sukses memanggil perhatiannya.
Rasa penasarannya meningkat tatkala tangisan itu diselangi teriakan histeris. Hendak pergi dan mengubur dalam-dalam rasa penasarannya. Namun, satu hal berhasil membuatnya membatu di tempat.
'Suga, bastard!'
Sudah bulat tekadnya. Meski terbilang pagi, ia tidak peduli. Ia akan mencari dari mana asal suara horor itu.
Park Jimin adalah tipe orang yang mudah dikuasai rasa penasaran. Sekali penasaran, ia tak'kan bisa tidur nyenyak sebelum rasa penasarannya terpenuhi.
Jimin menyisihkan rambut yang menutupi matanya ke belakang telinga. Indera pendengarannya melacak di mana sumber suara itu.
Ting!
Muncul sebuah bola lampu di atas kepala Jimin. Ia menemukannya. Pintu keluar. Benar, pintu keluar yang berjarak beberapa jengkal di samping lift.
Suara tangisan itu semakin jelas kala Jimin mendekat.
Sesampainya di ambang pintu kematian. Nope. Sesampainya di ambang pintu keluar, tanpa aba-aba, Jimin memutar kenop pintu dan mendorongnya hingga terbuka lebar.
Brak!
Dan,
Eobseo.
Kosong-tak berpenghuni. Refleks, Jimin berteriak layaknya baru saja melihat sadako keluar dari televisi.
Dengan jurus seribu langkah, ia melenggang pergi dari tempat horor itu.
Beberapa detik seusai Jimin melesat pergi, seorang gadis dengan rambut urakan muncul dari tangga yang terhitung satu lantai di bawahnya.
우리의추억 |

Comments

Popular posts from this blog

3 | Suspicious

5 | Start